![]()
|
Sunday, November 24, 2002
Sebuah percakapan mengiang di telinganya. "Jangan pergi sayang," bisik suara itu. Nirmala memejamkan matanya. Rambutnya yang panjang berurai mengular di punggungnya. Nirmala menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit kamarnya dengan mata nanar. Kenapa kenangan itu kembali dan terus kembali? Tujuh hari setelah Hans pergi, ia tak juga berhasil mengembalikan putaran roda kehidupannya ke irama normal. Suara itu, percakapan itu, mata itu, pandangan itu. Dia tak pernah begitu mencintai seorang laki-laki, seperti dia mencintai Hans. Nirmala bangkit dari kursinya. Layar komputer di depannya sejak sejam lalu sudah menampilkan tulisan screen saver merah menyala yang meliuk-liuk; "C'mon! get back to work!" Tapi, tak seperti biasanya, ia tak bergegas memusatkan perhatiannya pada draft proposal, rancangan budget dan tetek bengek urusan kantornya. Sejak tujuh hari terakhir, Nirmala tak merasakan apapun kecuali kehampaan; yang menghisap seluruh hati dan pikirannya. Seperti sebuah palung laut yang membuat pusaran air maha dashyat, yang menyedot apapun ke dalamnya. Seperti lubang cacing di angkasa luar, yang sanggup menghisap cahaya sekalipun ke dalam kekelamannya. "Rambutmu indah, Nirmala." Ia tersentak. Menoleh ke belakang, lalu ke sekeliling apartemennya yang tak seberapa luas. Suara itu begitu nyata. Ia bahkan merasakan hembusan nafas Hans di daun telinganya. Jantung Nirmala berdegup kencang. Ia tak percaya supranatural, mistik, atau hal-hal sejenisnya. Dia selalu berpikir dengan otaknya, bukan dengan perasaannya. Dan dia bangga akan hal itu. Tapi, suara itu…. Ia merasa bulu kuduknya berdiri. Ia suka sendirian di dalam kamar. Tengah malam seperti ini adalah saat yang paling dinikmatinya untuk bekerja. Menumpahkan hasil kerja keras otaknya sehari penuh dalam berhalaman-halaman rancangan kerja, flowchart bisnis, angan-angan masa depan yang ia susun detail untuk hidupnya. Tapi, malam ini terasa berbeda. "Hans, kamukah itu?" bisik Nirmala, nyaris tak terdengar oleh telinganya sendiri. Ia menoleh sekali lagi ke sekeliling. Semuanya ada di tempat yang seharusnya; akuarium ikan lautnya, jejeran pot kaktus mininya, foto-fotonya dalam berbagai pose, sejak ia lulus sekolah menengah dan memenangkan sebuah kontes gadis sampul di majalah remaja. Ia menajamkan matanya, namun tak berani melangkah, tak berani menggerakkan anggota badannya kecuali matanya yang liar ke kiri ke kanan. Nirmala teringat sebuah adegan horor di film favoritnya. Dalam situasi seperti ini, biasanya tirai akan melambai-lambai tertiup angin dari jendela yang lupa terkunci. Namun, di dalam kamarnya, tak ada benda yang bergerak, kecuali dadanya sendiri yang naik turun dengan nafas memburu. Peluh dingin bercucuran di keningnya. Satu menit, dua menit. Nirmala tersenyum sendiri. "Aku sudah gila. Aku berhalusinasi," gumamnya. Gestur tubuhnya melunak, lalu jatuh terduduk di kursi. Ia mulai tertawa kecil, lalu terbahak-bahak. "Gila! Kamu sudah mati Hans! Kamu tak akan kembali!" teriaknya tak terkendali. Suaranya melengking bersambung tawa tak putus-putus. Lalu hening. "Kamu tak akan kembali," bisik Nirmala. Ia merasa matanya mulai berair. Pertama kali sejak Hans meninggal, ia menangis.
|