TagBoard Message Board
nama

URL atau  Email

komentar



Archives


untuk melihat secara berurut bisa dilihat di sini

This page is powered by Blogger. Isn't yours?
Wednesday, October 02, 2002

 

Sudah terlalu lama memang waktu berlalu. Menguap dan tak menghilangkan jejak. Ada hal-hal yang seharusnya sejak dulu dilakukan. Namun, tidak dilakukan. Mengendap. Membeku. Menjadi abu masa silam yang tak berharga lagi untuk dikenang.

Manusia lahir dan menjalani hidup dengan berbagai mimpi. Ketika usia belasan tahun, hidup terasa seperti film petualangan yang menawarkan beribu alternatif skenario. Kita bisa memilih peran apapun sesuka hati. Terbang ke langit dengan angan melambung. Atau mengarungi samudera dengan nyali sebesar matahari. Namun begitu waktu berlalu, hamparan permadani impian itu mulai sobek di sana-sini. Ada jurang, ada ngarai. Ada rintangan, ada halangan. Dan, air mata lalu menjadi begitu akrab.

Nirmala menghela nafas. Ada yang seharusnya sejak dulu dilakukan. “Namun, tidak dilakukan,” gumamnya lirih.

Di tengah kerumunan ini, ia merasa begitu terasing. Kumpulan tangisan dan sedu sedan. “Apakah mereka tahu makna nestapa?” pikirnya. Tanpa sadar, ia mengamati wajah orang-orang di sekitarnya. Dengan pakaian hitam, kacamata hitam. Lengkap dengan sapu tangan putih kecil wangi untuk mengusap air mata yang menetes. Wajah mereka tersembunyi di balik kerudung, di balik polesan bedak yang tetap disapukan tebal-tebal, di balik kacamata hitam gelap. Mulut dan hidung mereka tersembunyi di balik saputangan yang ditutupkan rapat-rapat. Isak tangis mengalun. Terdengar nyaris seperti gumam yang melagu.

“Siapa yang tahu kalau mereka tersenyum di balik saputangan?” pikir Nirmala. Pikiran itu membuatnya tiba-tiba merasa muak. Semua prosesi penguburan itu lalu menjadi begitu gagu dan hampa. Gagal mengesankan kesedihan yang tulus. “Atau memang sudah sedari tadi begitu? Dan aku saja yang baru tersadar?”

Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari tengah kerumunan. Seorang perempuan mungil roboh ke tanah. Orang-orang berebut mendekati dan mencoba menolong. Gumam sedu sedan meninggi, seperti irama soundtrack film yang mendekati klimaks. “Kenapa? Hans, kenapa? Apa salah saya?” perempuan itu meracau sambil meronta mendekati peti jenazah yang siap diturunkan ke liang lahat. Orang-orang memeganginya dengan wajah prihatin yang seragam. Nirmala memandang wajah perempuan itu. Cantik dengan bibir penuh dan hidung mungil. Matanya yang cemerlang basah oleh air mata. Rambutnya yang semula disanggul, sudah semrawut karena empunya menggelepar-gelepar seperti ikan yang dilempar ke darat. “Sebuah pertunjukan yang sempurna,” gumam Nirmala.

Penguburan belum berakhir, ketika Nirmala memutuskan untuk pergi. “Ada hal-hal yang seharusnya sejak dulu dilakukan. Namun, tidak dilakukan.” Nirmala melepas kerudung hitamnya dan sebelum beranjak melirik peti jenazah lelaki yang pernah begitu dicintainya. “Selamat jalan Hans.”

imajinasi Wahyu Dhyatmika 6:28 AM