TagBoard Message Board
nama

URL atau  Email

komentar



Archives


untuk melihat secara berurut bisa dilihat di sini

This page is powered by Blogger. Isn't yours?
Thursday, September 19, 2002

 
Sebuah kamar tidur, di sebuah pagi yang lain.

“Terus…..Terus……!”

“Ya di situ! Begitu! Terus!”

Teriakan, dengus, bisikan mesra sahut menyahut. Mereka berpacu dengan nafsu, mencium sekujur tubuh pasangannya, melepaskan asmara, gelegak birahi yang melilit-lilit sukma keduanya. Dengan mata terpejam, yang perempuan menuntaskan hasratnya. Yang lelaki melenguh panjang dengan nafas memburu…….

Tiba-tiba telepon genggam bertulalit dengan irama jaipongan.

“Ya sayang?” desah yang perempuan di gagang telepon. “Jam delapan malam kan? I’ll be there.” Menunggu sebentar. “I love you, too.” Setelah itu, ia berbalik dan kembali mencumbu lelaki di sampingnya.

“Siapa tadi? Si pemakan manusia itu ya?”

“Ngawur! Nama suamiku bukan Kanibal! Ha…..Ni…..Bal!” Si perempuan membalas dengan manja sambil mengacak rambut pasangannya.

imajinasi Wahyu Dhyatmika 11:08 PM




 
Ia masih memegang HT, menggaruk-garuk kepala. Teman yang satunya masih asyik mengutak atik tubuh kaku itu. Kematian memang sahabat erat polisi. Sebagai polisi, bertemu mayat seperti bertemu mainan baru.

Sini, biar aku yang laporan, lagian darimana kau tahu ini 338 ?," katanya sambil mengulurkan tangannya. Tak urung HT pun berpindah tangan.

"Korban meninggal, kemungkinan bernama Hans. Tidak ada identitas. Ada memar di tengkuk . Mohon petunjuk, ganti," kata-katanya meluncur dengan ritme datar. Entah apa yang ia dengar, tapi yang jelas ia lalu berteriak ," Anjing," setelah menutup pembicaraan di HT.

"Ada yang menarik, Pak ?" tiba-tiba ada pertanyaan meluncur. Polisi itu mencari arah suara berasal. Seorang lelaki berpakaian hijau agak lusuh sudah berdiri di sampingnya. Celana jeans kumal melekat erat di kakinya.

"Eh kamu. Mujur benar kau, pagi-pagi sudah dapat berita bagus," ujar polisi itu.

"Siapa korbannya?," lelaki berjeans kumal menatap korban. Celana dalam itu tak ada lagi di kepala. "Gila !! Ini berita bagus," ia berteriak.

"Kau kenal dia ?," tanya polisi itu menunjuk mayat kaku.

"Namanya Hanibal. Makanya sering-seringlah lihat televisi. Dia anggota DPR dari fraksi gurem. Orangnya cukup vokal. Tapi kok nggak bercelana ?"

"Tadi malah celana dalamnya membungkus kepalanya."

"Wah menarik, coba dipakaikan lagi celana itu, bisa jadi foto bagus."

"Pakaikan sendiri, jijik aku."

Lelaki berjeans kumal meraih celana dalam itu, dipakaikan lagi, menutup muka Hanibal. Ia mengotak-atik. Seperti juga polisi, sebagai wartawan kriminal yang sering ke kamar mayat, jasad kaku adalah mainan menarik. Ia angkat sedikit posisinya sehingga mulutnya yang tampak menyeringai kesakitan terlihat. Posisi yang sama sekali berbeda dengan keadaan semula. Lalu ia melangkah mundur mencari posisi yang tepat. Hal ini membuat formasi kerumunan berubah. Para penonton melihat aneh para sahabat mayat ini. Mereka tak terbiasa melihat jasad sebagai mainan.

"Sayangnya tak ada darah,"kata lelaki itu sambil mengintipnya dari kamera.

******

imajinasi ang 7:52 PM


Tuesday, September 17, 2002

 
Siapa yang biasa menebar senyum di atas jenazah ? Seorang musuh. Itu jawaban yang pantas. Tapi kali ini bukan. Yang ketawa-ketiwi di sekitar jenazah itu orang-orang yang kebetulan melihat jenzah. Mayat yang terbujur di emper toko emas depan pasar tradisional. Tubuh yang kaku itu seharusnya dimaknai sebagai kesedihan. Namun dengan keadaan tanpa celana dan kaos bertuliskan "Ngapain lihat-lihat?" khas gaya kaos gaul, keadaannya menjadi berbeda. Celana panjangnya tersampir di pegangan anak tangga, dan celana dalamnya membungkus kepalanya. Tidak ada darah yang tercecer.

"Mungkin lagi konak sambil nge-bong," bisik seorang ibu sambil menjinjing satu bungkus bayam, tak lupa ia melirik bagian bawah tak bercelana itu.
"Atau nge-bong sambil konak," timpal gadis di sampingnya sambil terkikik.

Mayat itu tergeletak dalam posisi duduk, kakinya lurus-lurus menelentang. Kerumunan pun semakin berlimpah. Mereka muncul dengan berbagai interpretasi.

"Kok di koran belum ada ya," ujar seorang tukang becak bertopi oranye kepada teman seprofesinya.
"Goblok, ya mana tahu wartawannya ? Kecuali kalau wartawannya yang membunuh," sahut temannya.

Kerumunan itu pun memudar dengan sendirinya manakala sirine melengking. Kerumunan lebih suka sirine. Mereka mencari polisi yang mungkin akan bisa menjawab berbagai interpretasi itu. Dua orang polisi turun dari mobil berlampu gemerlap itu. Entah siapa yang menciptakan mobil dengan lampu-lampu unik itu, yang jelas tampak benar pesonanya dalam kerumunan tadi. Si tukang becak bertopi oranye mencoba bertanya," siapa ini pak?"

"Gundulmu !! Emang aku dukun, lihat mayatnya aja belum," kata salah satu polisi sambil melangkah dan menyibak kerumunan. Langkahnya mantap benar. Gadis yang barusan cekikikan dengan pembeli sebungkus bayam menatapnya dengan kagum. Dengan tatap mata yang nyaris sama seperti ia melihat mayat itu. Sebuah tatapan estetika tak bercelana.

Sementara sang polisi mengamati sosok tak bernyawa itu, temannya mengangkat HT. Bunyi desis bercampur dengan dengung interpretasi.
"322 mohon ijin masuk," ia bicara setengah berteriak. Orang-orang pun menatapnya, namun tidak dengan rasa estetika.
"338 di Jalan Palem Lima, korban laki-laki sekitar 30 tahun, bercelana di kepala..." ia tertahan, samar terdengar suara tertawa dari penerima di seberang. Untuk menghilangkan rasa kesal, ia berteriak ke temannya yang tengah memeriksa," siapa namanya?"

"Tak ada KTP, cuma ada selembar kertas. Tulisannya..," ia mencoba fokus menatap huruf-huruf di secarik kertas kecil," Hans, kutunggu di Cafe Cinta jam 11, Nirmala."
imajinasi ang 4:40 AM