TagBoard Message Board
nama

URL atau  Email

komentar



Archives


untuk melihat secara berurut bisa dilihat di sini

This page is powered by Blogger. Isn't yours?
Thursday, August 22, 2002

 
(Mereka berpagut dan mendesah)
“Ini yang ingin kulakukan. Persis seperti ini. Tapi sepuluh tahun lalu.”

“Kau menunggu sepuluh tahun hanya untuk menciumku?”

“Jangan terlalu percaya diri. Aku cuma bilang, aku ingin sekali menciummu seperti ini sepuluh tahun yang lalu, tapi entahlah. Saat itu aku tak punya kesempatan.”

“Lalu kenapa kau melakukannya sekarang?”

“Semata karena aku punya kesempatan untuk melakukannya.” (Yang perempuan mengerling jenaka)

“Bukan karena kau masih mencintaiku? Tidakkah kau masih mencintaiku Nirmala?“

“Kamu masih saja seperti dulu. Sudahlah.”

Perempuan itu beranjak dari duduknya dan melangkah semakin dekat ke pantai,, sesaat berhenti sambil tetap menatap ke pantai. Debur ombak selalu menghadirkan suasana sendu. “Hans apa yang kau ingat dari pantai ini?”

Yang lelaki menyusul mendekati perempuan itu. “Apa yang kuingat? Apa maksudmu?”

“Kau masih ingat rumpun pandan penangkal ombak, awan atau mungkin kafe yang dulu pernah berdiri disini? Apapun tentang pantai ini sepuluh tahun yang lalu?”

Lelaki yang dipanggil Hans, menggeleng. “Tidak. Aku tak ingat banyak.” Ia lalu menambahkan dengan nada getir, “Aku cuma ingat kamu. Seperti hari ini. Aku jatuh cinta lagi padamu.”

Tawa renyah menyambut ujung kata si lelaki. “Gombal!” ujar yang perempuan. Lalu jedah yang panjang.

“Sudah sore, langit mendung, tak ada lagi yang bisa kita tunggu. Sunset tak akan hadir untuk kita sore ini.”

“Sebaiknya kita cari sebuah café untuk berteduh sebelum hujan datang.” Terdiam. “Aku tahu, secangkir capuccino. Kita selalu menyukainya sebagai teman menikmati bau tanah basah,” ujar yang lelaki sambil menggamit lengan perempuannya.

Yang dipanggil Nirmala menoleh, mengayunkan kakinya sambil bergurau, “Ya, tapi yang paling parah; dingin dan caffein adalah kombinasi yang cocok untuk membuatku jadi sering bolak-balik ke toilet. Kebelet pipis!” Si lelaki menyeringai. Keduanya lalu tersenyum, beranjak sambil mengibaskan pasir yang masih menempel.

Café yang mereka tuju, tak jauh dari situ. Seperti sebuah rumah kecil dengan jendela besar-besar. Sebuah kolam dengan air mancur di sudut kiri, berdampingan dengan jalan setapak kecil di depan café menuju ke pintu masuk. Keduanya berjalan melintasi potongan batu kali jalan setapak, lalu menuju sebuah meja dekat jendela, dengan sudut pandang ke arah jalan raya di seberang.

“Aku tahu kamu sudah menikah.” Percakapan dimulai lagi. Sebuah pernyataan, dengan berjuta makna. Apakah perempuan itu sedih?

“Darimana kamu tahu?”

“Tak penting dari mana aku tahu.”

Si lelaki menghela nafas, “Ya, aku sudah menikah.”

“Hans, bagaimana kau bisa mengaku mencintai istrimu tapi membayangkan bercinta denganku? Kupikir, kau selalu tergila pada makna, Hans. Makna apa yang kau berikan untuk cintamu?”

“Kau tahu apa tentang cinta?” Hans menjawab dengan mendengus.

“Memangnya kau tahu apa?” Nirmala tak mau kalah.

“Kamu! kamu selalu membuatku kesal dengan pertanyaan balikmu itu! Jawab dulu pertanyaanku.”

“Oke.”

Keduanya kembali diam. Resah membuncah di dada masing-masing. Percakapan seperti ini selalu meretakkan hati dan sebisa mungkin, selalu mereka hindari.

“Menurutku, cinta adalah perasaan paling aneh yang tak bisa kurumuskan, membingungkan dan membuatku buntu,” si perempuan akhirnya membuka suara.

“Kamu masih mencintaiku seperti sepuluh tahun yang lalu, Nirmala?”

“Kenapa kau ulangi lagi pertanyaan itu? Aku tak pernah bilang itu padamu kan? Aku tak pernah bilang, ‘I love you’ padamu kan? Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Apa yang kita lalui seharian ini? Tidakkah itu berarti bagimu?”

“Aku tak yakin. Jangan terjebak pada ilusi. Kalau toh iya, apa bedanya Hans?”

Waktu terus mengalir seperti sungai panjang, dengan liukan dan kelokannya yang tak terduga. Membawa detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, seperti aliran arus dengan kejutannya sendiri. Hanya waktu yang tahu.

“Nirmala,” panggil yang lelaki. “Aku bingung. Benarkah aku yang meninggalkanmu sepuluh tahun yang lalu? Atau kau yang meninggalkan aku?”

Sepi lagi. Diam yang menyiksa. Mereka merasa harus bercakap, tapi setiap kata yang meluncur dari bibir mereka membawa luka. Membuat hati berdarah.

“Cinta takkan membawa kita kemana-mana Hans, apa gunanya?”

“Kenapa kamu tiba-tiba datang lagi?”

“Aku tidak pernah datang dengan tiba-tiba Hans. Aku selalu berada di sini. Kau yang datang padaku. Pertanyaan itu seharusnya kau tanyakan pada dirimu sendiri!”

“Apa kau sudah bersuami Nirmala? Dimana dia?” Hans mengalihkan topik. Cangkir capuccino di depan mereka, sudah tak lagi berasap.

“Belum. Mungkin tidak akan pernah.”

“Tidakkah kau ingin punya anak ?”

“Anak. Buat apa anak? Kenapa kita harus punya anak? Anak biologis maksudmu? Aku tak punya anak. Menurutmu mengapa kita perlu punya anak?”

“Untuk melanjutkan keturunan,” Hans menjawab pendek.

“Kita ini siapa Hans, sampai merasa perlu melanjutkan keturunan? Kita cuma bagian kecil dari spesies manusia. Kalaupun aku mati sekarang, dunia tak akan berkedip. Kau ingin melanjutkan spesies manusia? Banyak yang bersedia melakukannya.”

“Tidakkah kamu ingin melihat bagian dari dirimu lahir ke dunia? Bagian dirimu dan orang yang kau cintai, menjadi satu? Merasakan kebahagiaan atas keajaiban kehidupan?”

“Kamu menjadikan mereka obyek kesenanganmu Hans. Setelah mereka lahir lalu apa? Apa yang kau tawarkan padanya selain kesedihan? Kau hitunglah seberapa sering kamu merasa sedih ketimbang kamu merasa gembira.” Si perempuan memalingkan mukanya ke arah jalan raya. Tak ada kendaraan yang lewat sesore itu. Sepi. Seperti yang dirasakannya kini.

“Ah, itu tergantung pada bagaimana kita melihat kesedihan itu.” Suara Hans membuyarkan lamunannya. “Dengan selalu berpikir, kita cukup bahagia dan kesedihan hanya cobaan. Cobalah dan kau akan merasa beruntung masih diberi kesempatan menikmati hidup.”

“Cobaan? Beruntung?” Si perempuan tertawa. “Kamu menyedihkan. Kamu sama saja seperti orang-orang lain. Kamu menawarkan candu yang kau isap pada anakmu!”

“Maksudmu?”

“Hidup adalah halusinasi dan semua cara berpikir itu adalah candu. Mereka adalah halusinogen. Kau tahu Hans, otak manusia itu seperti rak buku. Kamu menempatkan sebuah ingatan pada satu kotak yang sudah kamu label dan begitulah seterusnya. Tak ada ingatan yang obyektif. Sekarang katakan padaku menurutmu untuk apa kamu hidup?”

“Kenapa kau terus menanyaiku dengan pertanyaan seperti itu?” Hans mulai tak nyaman.

“Katakan Hans!”

“Nirmala, kau boleh tak percaya pada apapun. Kau boleh tak percaya pada hidup sekalipun. Tapi aku percaya. Jadi, jangan terus bertanya mengapa aku percaya pada apa yang aku percaya hanya karena kau tak percaya!” kata si lelaki dengan nada meninggi. “Itu menggangguku. Apa yang salah dengan subyektifitas?”

Si perempuan menarik napas, “Kita selalu kembali pada titik yang sama.“

Si lelaki tertawa getir, “Semula aku tidak yakin, ada orang yang tak ingin punya anak. Semula aku sempat berpikir, kalau aku cuma laki-laki yang belum cocok. Bukan laki-laki yang mampu membuatmu menginginkan sebagian dari diriku ada dan tumbuh di dalammu. Aku salah, ternyata kau memang keras kepala.”

***

“Apa kabar istrimu Hans?”

“Kau mengalihkan pembicaraan.”

“Ya, karena kupikir tak ada gunanya lagi kita berdebat tentang itu. Dulu kau meninggalkanku setelah perdebatan yang kesekian kali atas topik yang sama. Jadi apa kabar istrimu?”

“Baik sejauh yang kuingat.”

“Dia merawatmu dengan baik. Lihat perutmu semakin buncit, aku tak mengira perutmu bisa sebesar ini Hans.”

“Boleh kutanya sekali lagi mengapa kamu belum juga menikah?”

“Kau ingat aku seorang obsesif-kompulsif kan? Ingat saat kita membeli beberapa ikan kecil dalam toples? Ikan fera-feri. Kau memberi mereka nama seperti nama semua bekas pacarmu. Keesokan harinya aku membeli seekor ikan piranha dan menamainya dengan namaku. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya kan?” Si perempuan tertawa tertahan dan menutup mulutnya.

“Ya, ikan-ikan kecil itu lenyap tak berbekas dan wajahmu terlihat sangat bahagia. Kamu aneh.”

“Aku hanya jujur. Aku merasa menberi terlalu banyak dan menuntut terlalu banyak. Kau takkan segendut ini kalau kau bersamaku, Hans.”

“Jadi menurutmu semua lelaki ingin gendut?” Hans memandangi perutnya sendiri.

“Tidak secara teknis.”

“Kau percaya cinta Nirmala?”

“Entahlah. Sudah kubilang, aku buntu setiap kali bicara tentang cinta. Cinta hanya menyiksaku dan lagi tak membuatku bergerak kemanapun.”

“Itu mungkin hanya karena pengalaman burukmu. Kau tersiksa dengan kepemilikan. Kamu terlalu posesif.”

“Justru karena aku tak percaya cinta, maka aku harus posesif. Untuk memastikan aku tidak kehilangan apapun.” Keduanya tertawa. Tawa lega, karena jerat di sekitar mereka sudah lenyap. Mereka bercakap tak lagi sebagai sepasang bekas kekasih, tapi hanya sebagai kawan lama yang kebetulan bersua.

“Cinta punya banyak dimensi, mencintai adalah melebur dalam cinta, Nirmala.”

“Aku tak mampu memahami konsep yang sama sekali abstrak itu Hans.”

“Ataukah persoalannya tak sesederhana kepemilikan? Apa yang membuatmu begini? Api itu masih saja di matamu, api apakah itu Nirmala?“

Perempuan itu memalingkan wajahnya dengan cepat. Menghindari tatapan tajam si lelaki. “Kau masih juga begitu, mungkin kamu sudah dilengkapi kemampuan cenayang sejak lahir. Sudah malam, ayo kita pergi dari sini. Kali ini aku yang bayar Hans.”

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

“Aku belum mau menjawabnya untukmu.”

Keduanya bangkit dari kursi.

“Hans kamu antarkan aku pulang tidak?”

“Aku janji makan malam dengan istriku jam delapan, tapi aku bisa mengantarmu. Ayolah.”

“Thanks Hans”

Mereka beriringan, meninggalkan café itu. Malam sudah makin larut. Satu dua kendaraan menderu di samping mereka. Bulan tak nampak, disembunyikan awan kelabu.

“Nirmala, boleh aku tanya lagi?”

“Apa Hans.”

“Apa kau akan selamanya begini?”

“Begini?”

“Sendiri.”

“Aku hanya menjalani hidup seperti burung-burung Hans. Kau ingat betapa aku selalu ingin menjadi seperti burung-burung gereja di dahan pepohonan, mereka selalu riang dan bergairah.”

“Kesepiankah kau Nirmala?”

“Apakah kau kesepian Hans?”

“Lagi–lagi kau mengulangi pertanyaanku. ”

“Aku tak merasakan apa-apa Hans, tapi mungkin juga cuma sementara.”

“Aku merasakan banyak hal bersamamu, aku pernah mencintaimu. Dan, mungkin akan selalu mencintaimu”

“Kau tak yakin. Cinta juga candu Hans. Jangan main-main.”

Mobil kijang yang dikemudikan Hans, meluncur pelan di jalanan yang basah oleh hujan yang mulai turun rintik-rintik.

imajinasi Wahyu Dhyatmika 6:11 AM