TagBoard Message Board
nama

URL atau  Email

komentar



Archives


untuk melihat secara berurut bisa dilihat di sini

This page is powered by Blogger. Isn't yours?
Monday, February 23, 2015

 
Angin tidak berdesir. Daun tak berkedip. Tanah diam. Lalu sunyi.
imajinasi Wahyu Dhyatmika 9:40 AM


Wednesday, February 27, 2008

 
Lihat. Pintu terbuka, sedikit. Angin menerabas masuk. Semilir. Sebuah kepala menjulur masuk. Wajah yang amat kami kenal. "Halo!" katanya. Kami kaget bukan kepalang.
imajinasi Wahyu Dhyatmika 9:36 PM


Thursday, June 07, 2007

 
Sudah hampir pukul tiga sore. Limabelas menit lagi tepatnya. Perempuan itu menunduk, mengangkat lengan kirinya dan melirik jam tangan mungil di pergelangan tangannya. Benar, masih seperempat putaran, sebelum jarum panjang menunjuk angka 12. Dia menyeruput coffee latte-nya dan kembali asyik dengan laptopnya.

Suasana kafe itu tidak begitu ramai. Lokasinya memang di pojokan kota lama, dikepung bangunan-bangunan tua tak terurus. Di kirinya ada tukang potong rambut, Madu Ratna, sedang di kanannya sebuah toko yang entah menjual apa. Yang jelas etalase kacanya penuh sesak dengan segala macam barang. Orang mungkin tak akan tahu ada sebuah kafe terselip di situ, kecuali tentu saja pelanggan tetap di sana.

Perempuan di meja depan itu sibuk menekan tuts keyboard di komputer jinjingnya. Online. Gelombang internet nirkabel memang sudah merambah sampai sudut-sudut kafe. Berhubungan dengan siapapun di dunia maya jadi jauh lebih mudah ketimbang membuka obrolan dengan manusia nyata yang duduk di samping kita. Segaris senyum tipis tiba-tiba muncul di paras rupawan si perempuan. Kawan bincangnya di dunia internet mengirim sebuah pesan yang membuatnya geli sendiri. Sebuah lelucon lama yang membuatnya teringat pada seseorang di masa lalunya. Mungkinkah dia, dia? Ah tidak. Si cantik menggeleng pelan.
imajinasi Wahyu Dhyatmika 12:54 PM


Friday, January 28, 2005

 
Kalau mungkin mengulang lagi semuanya dari awal, mungkin Hans tak akan mati. Tapi hidup manusia memang seperti buku yang belum ditulis. Apa yang terjadi hari ini, menentukan apa yang terjadi besok. Atau... begitukah?

Kalau menengok lagi hari kemarin, mungkin banyak hal yang terjadi, tidak seharusnya terjadi. Kalau saja, manusia berpikir panjang, dan mau melihat kemungkinan yang lebih besar. Gambar yang besar, yang lebih luas, yang punya dimensi waktu lebih panjang.

Tapi tidak.

Kita memang ditakdirkan seperti ini. Mengulang-ulang kesalahan yang sama, terjatuh selalu di lubang yang sama. Karena ingatan kita sependek umur sumbu korek api, sekali menyala, sedetik dua detik, lalu mati. gelap. dan lupa.


imajinasi Wahyu Dhyatmika 4:20 PM


Sunday, October 12, 2003

 
Tak ada lagi cerita. Lampu telah padam. Tidak ada lagi bensin berbau gila. Atau mungkin, imaginasi telah pergi, bersama rasa nyaman yang tertinggal di sana. Suatu tempat yang menyimpan kejenuhan. Entah apa.
imajinasi Kometsan 6:24 AM


Sunday, April 06, 2003

 
Tak ada Hans, tak ada Nirmala. Tak ada lagi. Yang ada hanyalah lupa dan bekerja. Dimana suara, dimana rasa?
imajinasi Kometsan 12:59 PM


Sunday, November 24, 2002

 
Sebuah percakapan mengiang di telinganya. "Jangan pergi sayang," bisik suara itu. Nirmala memejamkan matanya. Rambutnya yang panjang berurai mengular di punggungnya. Nirmala menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit kamarnya dengan mata nanar. Kenapa kenangan itu kembali dan terus kembali?

Tujuh hari setelah Hans pergi, ia tak juga berhasil mengembalikan putaran roda kehidupannya ke irama normal. Suara itu, percakapan itu, mata itu, pandangan itu. Dia tak pernah begitu mencintai seorang laki-laki, seperti dia mencintai Hans.

Nirmala bangkit dari kursinya. Layar komputer di depannya sejak sejam lalu sudah menampilkan tulisan screen saver merah menyala yang meliuk-liuk; "C'mon! get back to work!" Tapi, tak seperti biasanya, ia tak bergegas memusatkan perhatiannya pada draft proposal, rancangan budget dan tetek bengek urusan kantornya.

Sejak tujuh hari terakhir, Nirmala tak merasakan apapun kecuali kehampaan; yang menghisap seluruh hati dan pikirannya. Seperti sebuah palung laut yang membuat pusaran air maha dashyat, yang menyedot apapun ke dalamnya. Seperti lubang cacing di angkasa luar, yang sanggup menghisap cahaya sekalipun ke dalam kekelamannya.

"Rambutmu indah, Nirmala."

Ia tersentak. Menoleh ke belakang, lalu ke sekeliling apartemennya yang tak seberapa luas. Suara itu begitu nyata. Ia bahkan merasakan hembusan nafas Hans di daun telinganya.

Jantung Nirmala berdegup kencang. Ia tak percaya supranatural, mistik, atau hal-hal sejenisnya. Dia selalu berpikir dengan otaknya, bukan dengan perasaannya. Dan dia bangga akan hal itu. Tapi, suara itu….

Ia merasa bulu kuduknya berdiri. Ia suka sendirian di dalam kamar. Tengah malam seperti ini adalah saat yang paling dinikmatinya untuk bekerja. Menumpahkan hasil kerja keras otaknya sehari penuh dalam berhalaman-halaman rancangan kerja, flowchart bisnis, angan-angan masa depan yang ia susun detail untuk hidupnya. Tapi, malam ini terasa berbeda.

"Hans, kamukah itu?" bisik Nirmala, nyaris tak terdengar oleh telinganya sendiri. Ia menoleh sekali lagi ke sekeliling. Semuanya ada di tempat yang seharusnya; akuarium ikan lautnya, jejeran pot kaktus mininya, foto-fotonya dalam berbagai pose, sejak ia lulus sekolah menengah dan memenangkan sebuah kontes gadis sampul di majalah remaja. Ia menajamkan matanya, namun tak berani melangkah, tak berani menggerakkan anggota badannya kecuali matanya yang liar ke kiri ke kanan.

Nirmala teringat sebuah adegan horor di film favoritnya. Dalam situasi seperti ini, biasanya tirai akan melambai-lambai tertiup angin dari jendela yang lupa terkunci. Namun, di dalam kamarnya, tak ada benda yang bergerak, kecuali dadanya sendiri yang naik turun dengan nafas memburu.

Peluh dingin bercucuran di keningnya. Satu menit, dua menit.

Nirmala tersenyum sendiri. "Aku sudah gila. Aku berhalusinasi," gumamnya. Gestur tubuhnya melunak, lalu jatuh terduduk di kursi. Ia mulai tertawa kecil, lalu terbahak-bahak. "Gila! Kamu sudah mati Hans! Kamu tak akan kembali!" teriaknya tak terkendali. Suaranya melengking bersambung tawa tak putus-putus.

Lalu hening.

"Kamu tak akan kembali," bisik Nirmala. Ia merasa matanya mulai berair. Pertama kali sejak Hans meninggal, ia menangis.

imajinasi Wahyu Dhyatmika 7:10 AM